Senin, 07 April 2008

Penerapan Hukuman Mati dilihat dari Hukum Internasional

Penyalahgunaan penggunaan narkotika yang diatur dalam UU No.22 Tahun 1997 serta penyalahgunaan penggunaan psikotropika yang diatur dalam UU No.31 Tahun 1999 memang mencantumkan tentang ancaman tertinggi yaitu hukuman mati. Dengan adanya prinsip teritorial maka peraturan tersebut wajib ditaati dan diberlakukan kepada setiap orang yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Jadi mau tidak mau entah itu WNI atau WNA wajib mentaati peraturan tesebut dan apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan itu, wajib dihukum sesuai dengan apa yang telah disebutkan di dalam aturan itu pula.
Penerapan ancaman hukuman mati bagi para terpidana kasus narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) khususnya bagi Warga Negara Asing (WNA) di Indonesia ini memang menjadi polemik yang berkepanjanan, bagai dua mata pisau yang tajam. Di satu sisi Indonesia memilki kedaulatan penuh (prinsip teritorial) untuk membuat aturan hukum, mengadili, serta melaksanakan penegakkan hukum. Sehingga akan tercipta ketertiban dan keamanan di Indonesia. Tapi disisi lain Indonesia terbentur oleh kecaman serta protes-protes dari negara lain, khususnya negara asal terpidana itu tentunya. Sehingga akan membuat hubungan negara-negara itu dengan Indonesia menjadi kurang baik.
Di dalam masyarakat Internasional saat ini sendiri memang pemberlakuan hukuman mati semakin berkurang. Banyak sekali negara-negara yang telah mengapuskan hukuman mati di dalam sistem hukumnya baik secara de facto maupun secara de jure. Pada tahun 2004 Organisasi Hak Asasi Manusia Dunia, Amnesty International, mencatat rata-rata setiap tahun lebih dari tiga negara menghapus hukuman mati dari sistem hukum mereka. Dapat dilihat disini bahwa masyarakat internasional sendiri telah terjadi perubahan pola pemikiran dari beberapa negara, bahwa hukuman mati sudah tidak relevan lagi.
Tapi bukan berarti ada larangan terhadap pemberlakuan hukuman mati. Pemberlakuan hukuman mati tetap diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di masyarakat inetrnasional itu sendiri. Jadi masih diberlakukannya hukuman mati di Indonesia tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di masyarakat internasional. Hal-hal ini tersirat di dalam beberapa perjanjian internasional diantaranya : Deklarasi Hak Sipil dan Politik (ICCPR),Rome Statue of International Criminal Court, dan deklarasi HAM Eropa.
Khusus dalam konvensi ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang poin-poin dari perjanjian tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada Tahun 2005 itu pada pasal 6 ayat 2 masih memperbolehkan pemberlakuan hukuman mati, khusus pada kejahatan yang paling serius. Lalu bagaimana dengan tindak pidana penyalahgunaan narkoba,apakah dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan yang paling serius sehingga dapat diberlakukan hukuman mati?
Dalam konvensi ICCR sendiri tidak dijelaskan secara detail bahwa penyalahgunaan narkoba merupakan salah satu kejahatan yang serius. Tetapi dalam ICCPR sendiri disebutkan bahwa yang dimaksud pelanggaran yang paling serius dan memungkinkan untuk dijatuhi hukuman mati adalah pelanggaran yang sengaja dilakukan untuk menimbulkan kekerasan yang berpotensi menimbulkan akibat mematikan. Maksud dari pasal 6 ayat 2 konvensi ICCR tersebut memang tidak menjelaskan secara detail, sehingga penafsiran dari pelanggaran yang serius itu juga berbeda-beda di tiap negaranya. Dapat dikatakan di Indonesia ini telah mengakui bahwa tindakan penyalahgunaan narkoba itu termasuk kategori pelanggaran yang serius. Mungkin di Eropa atau Amerika Serikat yang notabenya termasuk Negara-negara maju yang konstruk masyarakatnya telah modern menganaggap penyalahgunaan narkoba sebagai kategori pelanggaran biasa. Tetapi bagi Indonesia sendiri, dimana masyarakatnya masih labil serta pemerintahan yang masih berkembang, dengan mental seperti itu apabila penyalahgunaan narkoba tidak diatur secara tegas dan keras maka akan berakibat sangat buruk. Jadi, bagi Indonesia poin dari pasal 6 ayat 2 ICCR yang menyebutkan bahwa “…menimbulkan kekerasan yang berpotensi menimbulkan akibat mematikan…” sesuai dengan akibat dari penyalahgunaan narkoba, sehingga tindak penyalahgunaan narkoba di Indonesia bias dikategorikan pelanggaran yang serius.
Dengan tidak bertentangannya pemberlakuan ancaman hukuman mati terhadap tersangka kasus penyalahgunaan narkoba terhadap hukum internasional (perjanjian/konvensi internasional) maka negara-negara lain tidak berhak untuk menentang atau melarang apa yang diberlakukan oleh Indonesia. Meskipun yang diadili itu adalah warga negara mereka. Misalnya saja Australia, yang beberapa warga negaranya didakwa hukuman mati karena kasus narkoba. Australia tidak dapat memaksa Indonesia untuk melepaskan beberapa warganya yang didakwa mati itu. Atau bahkan memaksa Indonesia untuk meringankan pidana yang diberikan (memberikan hak hidup). Karena itu adalah keputusan dari pengadilan yang sah di Indonesia dan hasil keputusan tersebut wajib untuk diberlakukan, dilaksanakan.
Jadi yang bisa dilakukan oleh Negara-negara tersebut ( seperti Australia) hanyalah melakukan bantuan-bantuan pada tersangka pada saat persidangan (melakukan banding, kasasi,dsb), atau memohonkan hak untuk hidup terhadan warganya itu kepada Pemerintah Indonesia.
Selebihnya itu Negara-negara tersebut tidak bisa melakukan apa-apa. Karena selebihnya adalah merupakan kekuasaan penuh dari Lembaga Yudikatif Indonesia yang berhak menentukan. Selain itu juga, tindakan penentangan atau larangan terhadap pemberlakuan hukuman mati di Indonesia berarti Negara itu telah menggangu yurisdiksi yang dimiliki Indonesia.